KEBIJAKAN E-KTP BAGI TRANSGENDER, PENGAMAT HAM UNEJ: HARUS DIBARENGI KESERIUSAN PEMERINTAH

KEBIJAKAN E-KTP BAGI TRANSGENDER, PENGAMAT HAM UNEJ: HARUS DIBARENGI KESERIUSAN PEMERINTAH

KEBIJAKAN E-KTP BAGI TRANSGENDER, PENGAMAT HAM UNEJ: HARUS DIBARENGI KESERIUSAN PEMERINTAH

Wacana pemerintah lewat  Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) membantu pembuatan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) untuk transgender mendapat sorotan berbagai pihak. Selama ini, kaum transgender kerap dipandang sebagai warga marjinal dan disandingkan dengan berbagai stigma negatif di masyarakat. Padahal, sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), kelompok transgender memiliki hak yang sama dengan warga lain, tak terkecuali dalam kepemilikan e-KTP. Dokumen administrasi kependudukan itu merupakan pintu bagi warga negara untuk mengakses pelayanan publik.

Menanggapi hal itu, Direktur Centre For Human Rights, Multiculturalism and Migration (CHRM2) Universitas Jember, Al Khanif, Rabu (12/5/2021) mengatakan, upaya pencatatan sipil kelompok transgender ini harus diapresiasi. Ia menilai, hal tersebut sebagai bentuk langkah maju negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya, tak terkecuali kaum transgender. Namun dalam hal ini, pemerintah dituntut serius dengan memberikan petunjuk teknis yang jelas.

Menurut Khanif, lewat pelayanan e-KTP bagi transgender, pemerintah berupaya meminimalisasi diskriminasi terhadap kaum transgender. Terutama dalam pelayanan hak dan akses mereka terhadap layanan publik. Namun, kebijakan itu juga tidak terlepas dari kemungkinan diskriminasi di sisi lain. Masalah yang harus dipikirkan pemerintah–dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)–apakah pencatatan tui benar-benar diperuntukkan bagi pemenuhan hak-hak dasar kelompok transgender sebagai WNI atau sebaliknya. Bisa saja pencatatan kaum transgender ini untuk mengidentifikasi kelompok mereka di suatu daerah agar lebih mudah diawasi. Karena, kelompok transgender masih disulitkan dengan stigma negatif, sehingga tidak lepas kemungkinan timbulnya resistensi di masyarakat.

Khanif juga menyoroti soal teknis pencatatannya. Dalam e-KTP, pencatatan tetap berdasarkan jenis kelamin asli. Kecuali, bagi mereka yang telah ditetapkan oleh pengadilan untuk mengubah jenis kelaminnya. Maka dalam hal itu, negara perlu lebih aktif. Jika penetapan harus berdasarkan putusan pengadilan, maka negara dituntut bisa memberikan subsidi bagi mereka yang akan mengakses layanan tersebut. Jika disana tidak ada intervensi negara, maka sulit bagi kaum transgender yang mau mengakses pengadilan, karena tidak semua memiliki cukup uang. Terlebih akses kelompok transgender dalam sektor pekerjaan juga terbatas.

Jika tidak, Khanif menambahkan, maka kebijakan tersebut adalah hal yang sia-sia dan non-sense. Dan kebijakan tersebut tidak akan berdampak optimal serta bersifat elitis. Iapun berharap, kebijakan itu menjadi pintu masuk kehadiran negara dalam pemenuhan hak-hak sipil warganya. Serta sebagai tanggung jawab negara memenuhi hak sipil kaum transgender.(rex)

Copyright © 2024 K Radio Jember 102,9 FM Developed by Sevenlight.ID.

Adonis Music R&B