Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Hilmar Farid menyebut, Saat ini masih ada gap antara generasi lama dan generasi Z.

Hal tersebut disampaikan dalam diskusi kebudayaan Revitalisasi Kebudayaan di Era Gen Z di Jember, Sabtu (26/8/23). Menurutnya, faktor perkembangan teknologi informasi menjadi salah satu penyebabnya.

Gen Z yang melek teknologi dengan mudah menyerap referensi kebudayaan. Maka disitulah terjadi perang kebudayaan. Sesuatu yang dianggap menarik akan diikuti dan ditiru, terlepas asal muasalnya.

Kemudian bagaimana agar kebudayaan ciri khas Indonesia dapat bertahan dan diwariskan, Hilmar menyebut hal itu menjadi tantangan generasi lama untuk membuat sebuah terobosan.

Ia mengimbau agar budayawan dan seniman mencari relevansi nilai-nilai kebudayaan dengan perkembangan teknologi informasi. Sebab, salah satu hal yang berpengaruh besar terhadap perubahan adalah teknologi informasi.

Sementara, Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Nur Purnamasidi menganggap pemerintah perlu merumuskan satu langkah strategis. Untuk menjaga generasi yang akan datang memiliki gambaran yang jelas tentang kebudayaan apa yang akan dikembangkan.

Sebuah kebudayaan yang bisa menjamin bahwa kehidupan mereka lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya.

Menurutnya, standar nilai harus dikompromikan. Bentuk kesopanan itu tidak harus cium tangan serta menunduk-nunduk. Tapi lebih pada bagaimana cara menghormati orang tua dengan cara yang lain. Sehingga saat Gen Z memproduksi sesuatu tidak merasa melanggar nilai.

Misalkan ada Gen Z yang menampilkan Tarian Reog dengan konsep yang berbeda, harus diterima sebagai sebuah kreativitas,. Yang harus dipastikan adalah nilai yang terkandung di dalamnya masih ada.

Sebab, Gen Z sudah memiliki referensi yang berbeda, yakni terpusat pada teknologi. Tugas orang tua melakukan transformasi nilai kebudayaan dengan memanfaatkan teknologi yang menjadi sumber referensi Gen Z.(thn)