"Memang tidak mudah", itulah kalimat yang terucap dari Cicik Farha, penggagas kampung edukasi Tanoker di Kecamatan Ledokombo. Saat mencoba menggeliatkan kembali permainan tradisional egrang yang sempat mati suri akibat pandemi covid-19.

Ia menegaskan, jika mempertimbangkan potensi dan semangat ia optimis, menghadirkan kembali egrang di tengah-tengah kerinduan masyarakat Jember akan permainan tradisional bukanlah kemustahilan.

Namun, untuk merawat dan meruwat kebudayaan atau tradisi memang banyak tantangan. Untuk menjawab hal tersebut kini egrang-pun direvitalisasi agar bisa beraktualisasi menyesuaikan dengan tuntutan zaman.

Cicik menuturkan, eksistensi egrang bukan sekedar untuk lomba balap egrang, namun dapat juga ditampilkan dalam bentuk tari-tarian yang berkolaborasi dengan lagu-lagu tradisional maupun lagu internasional. Itulah egrang sekarang, dari lokal ke global. Semua berkembang, membutuhkan elaborasi aksi dan refleksi.

Menurutnya, orang memainkan egrang dimanapun sudah lumrah dan biasa, namun menampilkan egrang dalam bentuk tari-tarian hanya ada di Jember. Dan ini adalah potensi.

Ia berharap dukungan dari pemerintah juga lembaga pendidikan, misalnya dengan memasukannya kedalam kurikulum lokal atau kegiatan ekstrakurikuler. Terutama di Kecamatan Ledokombo yang menjadi perintis.

Kata Cicik, permainan jangan diasumsikan hanya untuk anak-anak, karena manusia adalah homo ludens. Manusia adalah pemain yang memainkan permainan. Ketika kita menghentikan permainan, sebetulnya kita telah mengalami erosi tertentu terhadap kemanusiaan kita.

Salah satu ekspresi yang bisa membuat manusia bahagia penuh sebagai manusia adalah bermain. Ruang tersebut jangan dimutilasi oleh karena pengkotakan orang dewasa, lansia, atau anak-anak.(thn)