Masyarakat yang menjadi korban kekerasan seksual atau mengetahui adanya dugaan kekerasan seksual, diharapkan untuk tidak melapor ke media sosial. Sebab hal ini dikhawatirkan membawa sejumlah resiko, terutama bagi korban.
Hal itu dikemukakan komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang (1/12/23) dalam diskusi dengan awak media di Jember dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Kampanye 16 HAKTP.
Komnas Perempuan menyarankan agar kasus kekerasan seksual disikapi sesuai mekanisme yang berlaku. Yakni dilaporkan ke aparat penegak hukum seperti polisi. Korban juga bisa meminta bantuan lembaga pendamping untuk membantu penguatan atau aspek teknis lain. Jika ada kendala dalam proses hukumnya, korban atau lembaga pendamping bisa meminta bantuan kepada Komnas Perempuan yang akan disikapi sesuai amanat undang-undang. Yakni Komnas Perempuan bisa menyediakan saksi ahli atau menjadi sahabat pengadilan atau amicus curiae yang akan membantu korban dalam menjalani proses hukum atas kekerasan yang dialaminya.
Very, sapaan akrab Veryanto Sitohang menambahkan, penggunaan media sosial untuk melaporkan dugaan kekerasan seksual, justru rentan dengan resiko. Antara lain membuat identitas korban terungkap, yang dikhawatirkan bisa menimbulkan serangan balik terhadapnya.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu viral kasus seorang pengurus BEM di Yogyakarta yang dituding melakukan kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi. Tuduhan itu disampaikan melalui akun Twitter Manfeess. Belakangan terungkap, tuduhan itu ternyata rekayasa, yang dibuat oleh seorang pria karena masalah dendam pribadi yang tidak ada hubungannya dengan kekerasan seksual. Peristiwa nyaris serupa juga pernah terjadi di Jember beberapa bulan lalu. (adp)
Copyright © 2024 K Radio Jember 102,9 FM Developed by Sevenlight.ID.