Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akhirnya resmi disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa (6/12/2022). Beleid hukum pidana itu bakal menggantikan KUHP lama yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia. Sidang paripurna di Gedung DPR RI Jakarta tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad dan sempat diwarnai adu argumen.
Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, menyebut jika KUHP baru tersebut berlaku 3 tahun sejak disahkan. Ia pun mempersilakan masyarakat mencermati dan mengkritisi pasal-pasal dalam KUHP yang baru disahkan dan menempuh jalur hukum jika ada yang merasa sangat mengganggu. Mengingat, sejumlah kalangan publik menilai materi dalam draf RKUHP memuat pasal-pasal bermasalah. Seperti pasal penghinaan Presiden, pemerintah dan lambing negara; demonstrasi tanpa pemberitahuan; perzinaan dan kumpul kebo; berita bohong; makar; pidana mati; dan tindak pidana agama.
Sejumlah akademisi ikut mengkritik keras pengesahan RKUHP menjadi UU oleh DPR RI dan pemerintah Joko Widodo. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai pengesahan tersebut semakin mengonfirmasi bahwa DPR dan pemerintah abai dengan pendapat publik. Hal senada disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman. Ia mengkritik keras pengesahan RKUHP menjadi UU, namun mengaku tidak kaget. Karena peristiwa itu seolah mengulang sejumlah perundang-undangan yang dipaksakan pengesahannya, seperti revisi UU KPK (2019), UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan UU Minerba.
Copyright © 2024 K Radio Jember 102,9 FM Developed by Sevenlight.ID.