Virus corona varian omicron yang diprediksi melonjak pada Maret – April tahun ini ramai disoroti masyarakat, termasuk warganet. Melalui unggahan di media sosial, mereka menyuarakan narasi serupa yang menganggap bahwa Covid-19 mulai melonjak kembali karena mendekati bulan puasa dan lebaran. Meskipun pemerintah melalui Kantor Staf Presiden (KSP) telah membantah hal tersebut, namun isu itu tetap saja bergulir.
Sosiolog Universitas Jember, Nurul Hidayat kepada K Radio, Selasa (8/2/2022) menyebut, narasi yang terbangun tersebut merupakan cara publik atas absennya diskursus yang sehat. Sebenarnya, hal tersebut bisa terjadi dalam konteks agama atau perayaan lain. Namun, memang kebetulan mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam dan wacana yang paling sentimentil adalah soal Ramadan dan hari raya.
Pria yang akrab disapa Nuhi ini menjelaskan alasan terbangunnya narasi yang sebetulnya spekulatif tersebut. Yakni disebabkan relasi yang tidak sehat antara pemerintah dan rakyat. Komunikasi yang gagal dibangun oleh pemerintah akibat ketidaktransparan penanganan Covid-19, menyebabkan publik cenderung hilang respek dan tidak kepercaya. Maka ia menekankan, gimmick yang muncul di media sosial tidak boleh dianggap sepele. Hal tersebut perlu dipahami sebagai sebuah resistensi simbolik yang menjadi semacam ketidakpedulian bersifat simbolik dari masyarakat.
Jika ketidakpercayaan tersebut dibiarkan yang diumpamakan Nuhi sebagai percikan api, lama-lama akan membesar dan menyulitkan pemerintah. Sehingga ia meminta pemerintah harus lebih komunikatif, kreatif, aware, dan scientific dalam menyampaikan informasi. Selain itu, dalam situasi pandemi atau bencana, semua orang harus diposisikan sejajar. Dalam arti dilibatkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya masing-masing.(dna)
Copyright © 2024 K Radio Jember 102,9 FM Developed by Sevenlight.ID.