Selama tiga hari, 27–29 Oktober 2025, Ballroom Hotel Santika Premiere Gubeng menjadi saksi pertemuan gagasan-gagasan besar tentang Islam, ilmu pengetahuan, dan keberlanjutan.
Dalam suasana akademik yang hangat dan reflektif, International Conference on Islam Nusantara (ICNARA) 2025 berhasil meneguhkan pesan lama dengan semangat baru bahwa pesantren bukan hanya benteng moral, tetapi juga laboratorium ekologis bagi masa depan bumi.
Konferensi dibuka dengan pidato Rektor UIN KHAS Jember, Prof. Hepni yang menegaskan lima asas pesantren yakni keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, persaudaraan, dan kebebasan sebagai pondasi etika dan spiritualitas pendidikan Islam. Pesantren adalah living tradition yang menjaga keseimbangan antara iman dan ilmu, antara nilai-nilai luhur dan tantangan zaman.
Sementara itu, Wakil Rektor I UIN KHAS Jember, Prof. Khusna Amal, menyebut ICNARA sebagai titik temu dialog akademik lintas negara yang memperkuat Islam Nusantara sebagai paradigma keilmuan dan keberlanjutan global.
Sesi pleno hari pertama menghadirkan Prof. Frans Wijsen dari Radboud University, Belanda, yang menyoroti tantangan lingkungan di Indonesia dan peran pesantren dalam mewujudkan masa depan berkelanjutan. Dalam paparannya, Prof. Frans menyebut hanya 12 persen masyarakat Indonesia yang memiliki akses air bersih dan sebagian besar pesantren belum mengadopsi prinsip eco-pesantren.
Ia mengusulkan pendekatan transdisipliner dan ko-kreasi pengetahuan dengan menghubungkan sains, agama, dan kearifan lokal sebagai jalan keluar. Menurutnya, sains dan agama adalah dua suara epistemologis yang berbeda, tapi keduanya bisa bernyanyi dalam satu simfoni pengetahuan.
Diskusi berkembang pada isu moderasi beragama dan konsep “eco-jihad”, sebuah gerakan spiritual untuk membersihkan lingkungan. Para peserta menyepakati, keberlanjutan harus menjadi bagian integral dari pendidikan pesantren, bukan sekadar tambahan kurikulum.
Pleno hari kedua memperkaya diskursus dengan perspektif lintas bidang.
Prof. Dato’ Fariza Md Sham (Institute of Islam HADHARI, Malaysia) mengurai dampak media sosial terhadap psikologi remaja, menyebut spiritualitas sebagai penyeimbang antara dunia maya dan dunia nyata.
Dr. Ade Abdul Hak (UIN Jakarta) memperkenalkan konsep Prophetic Librarianship yang merupakan pengelolaan pengetahuan yang berorientasi spiritual dan etis, berakar dari tradisi Yasinan di pesantren.
Sedangkan Dr. Cecep Soleh Kurniawan (UNISSA Brunei Darussalam) menekankan potensi zakat, infaq, sedekah, dan wakaf dalam memperkuat ekonomi UMKM berbasis keadilan sosial.
Dari Indonesia, Dr. KH. Muhtadi Abdul Mun’im (UNIA Prenduan) menutup sesi dengan refleksi mendalam tentang ekoteologi pesantren. Ia menyebut, menanam pohon di pesantren adalah ibadah ekologis bagian dari amanah sebagai khalifah di bumi.
Pada sesi berikutnya, Prof. Iim Halimatusa’diyah (PPIM UIN Jakarta) menguraikan hasil riset dua tahun tentang religious environmentalism. Ia menemukan bahwa religiusitas tinggi di Indonesia belum sepenuhnya berbuah tindakan ekologis. Banyak yang berdoa untuk bumi, tapi belum beraksi untuk menyelamatkannya.
Sementara itu, Prof. Ismail Fajrie Alatas (New York University) menantang cara pandang modern terhadap waktu dan keberlanjutan. Ia memaknai pesantren sebagai form of life tempat di mana ritme, relasi, dan kasih sayang menjadi basis etika ekologis. Krisis iklim adalah krisis imajinasi. Pesantren bisa menularkan ritme kehidupan yang lebih selaras dengan alam.
ICNARA 2025 meninggalkan pesan mendalam, yakni keberlanjutan bukan sekadar proyek teknologi atau kebijakan, tetapi laku spiritual yang berakar pada nilai-nilai keislaman. Pesantren dengan tradisi ngaji, ngamal, dan ngabdi, menjadi ruang hidup bagi praktik etika ekologis yang menyatu dengan ibadah.(thn)
Copyright © 2024 K Radio Jember 102,9 FM Developed by Sevenlight.ID.